Kamar Literasi

AS Terancam Rugi 7 Miliar Dolar Gara-Gara Mahasiswa Gagal Masuk

Krisis visa di AS membuat jumlah mahasiswa internasional turun hingga 40%, menyebabkan potensi kerugian ekonomi sebesar $7 miliar.

AS Terancam Rugi 7 Miliar Dolar Gara-Gara Mahasiswa Gagal Masuk

Kamar Literasi - Bayangkan ini, ribuan pelajar dari India, Tiongkok, Nigeria, dan bahkan Jepang, sudah siap terbang ke Amerika untuk memulai kuliah musim gugur. Tapi ketika mereka buka situs kedutaan untuk bikin janji wawancara visa, yang muncul malah notifikasi: “Appointment not available.” 

Akibatnya? Perguruan tinggi di AS diprediksi kehilangan ratusan ribu mahasiswa internasional, dan kerugian ekonominya tembus 7 miliar dolar AS. Ini bukan angka main-main dan sayangnya, bukan juga kejutan.

Mari kita uraikan kenapa ini bisa terjadi, dan apa pelajaran yang bisa kita ambil sebagai bangsa yang juga gencar mempromosikan pendidikan global.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Menurut laporan dari dua lembaga NAFSA (Asosiasi Pendidikan Internasional di AS) dan JB International (konsultan riset pendidikan) pendaftaran mahasiswa internasional ke kampus-kampus Amerika pada musim gugur 2025 bakal anjlok hingga 30–40%, setara dengan 150.000 pelajar baru yang gagal masuk.

Penyebab utamanya ternyata bukan minat belajar yang turun, tapi lebih ke urusan administratif yang... ya, ruwet. Mulai dari:

  1. Wawancara visa dihentikan sementara dari 27 Mei–18 Juni
  2. Slot janji temu yang sangat terbatas setelah layanan dibuka kembali
  3. Penurunan drastis penerbitan visa (terutama visa F-1 untuk pelajar)
  4. Ditambah lagi dengan larangan perjalanan dari dan ke banyak negara.

Contohnya, dari Januari sampai April 2025, jumlah visa pelajar F-1 yang terbit turun 12% dibanding tahun sebelumnya. Lalu masuk Mei, anjlok lagi 22%. Bahkan pada bulan Juni, seorang analis memperkirakan turunnya bisa sampai 80–90%. Itu ibaratnya gerbang kampus Amerika tertutup rapat di depan mata pelajar internasional.

Dampaknya Nggak Main-Main

Masalah ini bukan sekadar hilangnya mahasiswa di ruang kelas. Ini soal ekosistem ekonomi besar yang terganggu.

  1. Setiap mahasiswa internasional yang belajar di AS menyumbang rata-rata $30.000–$40.000 per tahun bagi perekonomian lokal (biaya kuliah, sewa, konsumsi, pajak).
  2. Dengan 150.000 pelajar yang batal datang, kerugiannya sekitar $7 miliar.
  3. Imbasnya: lebih dari 60.000 pekerjaan di sektor pendidikan dan pendukungnya (seperti dosen, staf administrasi, pengelola asrama, pemilik restoran sekitar kampus) ikut terdampak.

Kalau di Indonesia, situasinya mungkin mirip dengan dampak turunnya mahasiswa baru ke kota seperti Yogyakarta atau Malang, kos sepi, warteg berkurang pelanggan, bahkan ojek online kehilangan orderan harian.

Masalah Visa & Kebijakan Perjalanan

Satu hal yang bikin tambah rumit adalah kebijakan larangan perjalanan. Pemerintah AS menerapkan:

  1. Larangan total dari 12 negara,
  2. Larangan parsial dari 7 negara lainnya,
  3. Rencana larangan tambahan untuk 36 negara lain, termasuk dari Afrika yang jadi salah satu sumber pelajar besar.

Masalahnya, negara-negara yang terkena dampak justru adalah pasar utama pendidikan tinggi AS. Pelajar dari India, Tiongkok, Nigeria, dan Jepang misalnya semuanya masuk daftar negara dengan keterbatasan janji temu visa. Ini seperti warung buka 24 jam tapi yang datang disuruh antre dua bulan. Jelas bikin orang malas mampir.

Seruan dari Para Pemangku Kepentingan

Tentu saja banyak yang mulai angkat suara. NAFSA mendesak agar:

  1. Visa pelajar diprioritaskan pemrosesannya,
  2. Jenis visa pelajar (F-1, M-1, J-1) dikecualikan dari larangan perjalanan,
  3. Proses keamanan tetap dijaga, tapi jangan sampai birokrasi menghambat niat belajar.

Bahkan 15 anggota Kongres AS sampai menulis surat resmi ke Menteri Luar Negeri, Marco Rubio, khusus membahas betapa lambatnya proses visa, terutama untuk pelamar dari India. Intinya mereka bilang: “Kami kecewa, dan khawatir generasi muda penuh potensi ini gagal melanjutkan pendidikan dan riset di negeri kami.

Pelajaran untuk Indonesia

Dari sini, kita bisa ambil beberapa catatan penting buat sistem pendidikan di tanah air:

1. Kemudahan akses dan kepastian prosedur itu krusial. Bayangkan kalau Indonesia serius ingin jadi hub pendidikan Asia Tenggara. Maka, birokrasi visa pelajar asing juga harus sigap, bukan malah jadi penghambat.

2. Kampus itu bukan sekadar lembaga akademik, tapi motor ekonomi. Seperti kota pelajar Jogja atau Bandung yang hidup karena kehadiran mahasiswa, begitu juga negara. Ketika pelajar internasional datang, yang berkembang bukan cuma kelas, tapi juga kuliner, properti, jasa transportasi, hingga teknologi.

3. Isu global bisa berbalik jadi peluang. Ketika AS menghadapi krisis ini, Indonesia bisa mengambil celah. Tawarkan beasiswa, perluas promosi internasional, dan bangun program studi berbahasa Inggris yang kompetitif. Siapa tahu, pelajar yang gagal ke AS bisa kita tarik ke UI, UGM, atau ITB?

Posting Komentar